Beliau adalah As-Sayyid Abdullah bin Al-Allamah Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Aydrus bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Aydrus bin Ali bin Muhammad bin Syihabuddin. Nasab beliau melantas kepada Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah.

Beliau merupakan maha guru, sandaran utama, pembesar para sufi, pemilik budi  pekerti luhur, berilmu tinggi, pemakai baju kesufian, nan selalu melazimi para maha guru di zamannya.

Beliau dijuluki Mata Hati Kota Tarim, julukan yang tak mampu diraih oleh sembarang orang, yang demikian itu beliau dapatkan karena keikhlasannya berkhidmah kepada syariat agama.

Beliau pula termasuk a’yanil bilad Tarim (tokoh habaib Tarim), di mana ketika dijumpai di suatu majelis yang dihadiri oleh pembesar habaib Tarim, seperti Al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri, Al-Habib Ali al-Masyhur bin Hafidz, Al-Habib Umar bin Hafidz, yang kesemuanya merupakan permata nan indah kota Tarim. Mereka enggan memberikan petuah nasihat, sebelum Al-Habib Abdullah bin Syihab memberikan wejangan nasihat terlebih dahulu.

Perlu kita ketahui, Al-Habib Abdullah bukan sosok pertama yang dijuluki Mata Hati Kota Tarim. Beliau adalah orang ketiga yang menyandang gelar ini setelah para datuknya. Mereka semua tidak serta merta mendapatkannya begitu saja, melainkan diraih setelah mujahadah dalam berkhidmah kepada Nabi Muhammad dan kepada ajaran yang di bawa olehnya.

Ayah Al-Habib Abdullah, yaitu Al-Habib Muhammad bin Alwi bin Syihab, dikala menuntut ilmu, melazimi Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur selaku mudir Rubath Tarim, Mufti Hadramaut, sekaligus penulis kitab Bughiyatul Mustarsyidin, kitab yang mencakup kumpulan fatwa-fatwa ulama Hadramaut.

Di kala itu, Al-Habib Muhammad bin Alwi berperan sebagai khadim (orang yang suka berkhidmah) kepada sang guru. Tugasnya ialah melayani dan memenuhi semua keperluan dan hajat yang diinginkan mursyidnya itu. Keadaan ini terus berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya, bahkan setiap kali pelajaran dimulai, seluruh temannya mengkaji dan menelaah kitab bersama Al-Habib Abdurrahaman, terkecuali Al-Habib Muhammad yang saat itu selalu disibukkan dengan menyedian kopi untuk sang Habib dan tamu yang lainnya.

Suatu hari terbesit dalam hati dan fikiran Al-Habib Muhammad saat itu, “Teman-temanku sedang memegang kitab dan menelaahnya bersama Al-Habib, namun mengapa aku malah menjadi penyedia kopi?!”

Tak lama setelah itu, Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur menghampiri Al-Habib Muhammad, seraya mendekatkan kepala pada telinga muridnya itu, “Engkau akan melampaui seluruh teman-temanmu itu!”

Sontak, Al-Habib Muhammad pun terkejut tak terkira, mengapa suara hatinya mampu terdengar oleh sang guru. Lantas, ia pun malu dan kembali berkhidmah, ketimbang memikirkan hal yang tidak-tidak.

Selepas Al-Habib Abdurrahman wafat, benarlah apa yang diucapkan dahulu kepada muridnya, yaitu Al-Habib Muhammad bin Alwi bin Syihab. Seluruh teman-temannya menjadi ulama terkemuka, beda halnya dengan Al-Habib Muhammad, yang menyandang gelar “Mata Hati kota Tarim”, julukan yang melampaui semua temannya. Dan ia yakin bahwa ini berkah dari khidmahnya dahulu kepada sang guru.

Seiring berganti zaman, julukan “Mata Hati kota Tarim” tak berhenti pada Al-Habib Muhammad, melainkan beliau wariskan gelar tersebut kepada sang anak, yaitu Al-Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Syihab. Tentu hal ini tidak semudah apa yang kita pikirkan. Al-Habib Muhammad menitahkan anaknya untuk senantiasa berkhidmah dalam mempertahankan syariat agama, hingga akhirnya beliau pantas dan layak sebagai penerus sang ayah.

Dengan keberkahan para pendahulunya, kemuliaan Al-Habib Abdullah telah masyhur di kalangan ulama dan penuntut ilmu, baik itu di Tarim maupun di luar kota Tarim. Lazimnya beliau sering diziarahi oleh para ulama yang hendak berpergian melakukan safari dakwah ke berbagai negeri, demikian itu untuk berpamitan dan meminta izin kepada beliau. Tak luput, Al-Habib Umar bin Hafidz pun sering mendatangi beliau ketika ingin berdakwah ke Indonesia, untuk meminta restu dan doa dari sang Habib.

Termasuk dari tradisi masyarakat kota Tarim ialah merasa gembira ketika bisa mendengarkan tausiyah dan untaian nasihat dari Al-Habib Abdullah bin Syihab. Bagi mereka, setiap perkataan yang keluar dari lisan sang Habib, memiliki makna dan keberkahan tersendiri.

Tak henti-hentinya, rumah beliau menjadi tujuan utama para peziarah yang berkunjung ke kota Tarim. Namun demikian, sang Habib tetap memuliakan mereka, dengan menyediakan untuk mereka jamuan yang layak. Secangkir teh maupun kopi adalah hal yang lazim disediakan oleh Al-Habib Abdullah untuk para tamunya. Berbeda dengan Al-Habib Umar bin Hafidz, beliau menolak untuk menyentuh cangkir yang disuguhkan kepadanya, dan hanya mau minum dari sisa minuman di gelas Al-Habib yang sangat di muliakannya itu.

Al-Habib Abdullah tidak melewatkan undangan siapa saja tanpa alasan yang jelas, terutama bila undangan itu berkaitan dengan majelis ilmu. Apabila beliau hadir, suasana majlis menjadi tampak agung, sebab jama’ah yang hadir akan mendekat, merapatkan tempat duduk, semata-mata ingin mendengarkan perkataan sang Habib, dan mengamini setiap doa yang pasti mustajabah.

Kiprahnya dalam berdakwah membuat beliau mendapat banyak undangan dari berbagai negeri, tak luput beliau juga sering diundang ke Indonesia, melalui para ulama dan habaib. Dan istimewanya, beliau biasanya selalu memberikan jawaban: “Saya menunggu perintah saja!” Ya, yang dimaksud perintah di sini adalah perintah langsung dari Rasulullah.

Al-Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi wafat pada tanggal 18 Jumadil Tsani 1439 H/ 5 Maret 2018. Beliau di shalatkan di Masjid Jabanah depan pemakaman Zanbal, dan di semayamkan di Zanbal. Kabar duka ini langsung tersebar ke berbagai belahan dunia, ratusan bahkan ribuan umat muslim ikut berpartisipasi dalam pemakaman dan pembacaan doa untuk beliau.

Penulis: Faisal Zikri

Sumber: sanadmedia.com