Di era teknologi yang serba canggih ini, tak sedikit murid yang terbuai oleh prestasi ilmu dan status sosial yang mereka raih. Sebagian merasa dirinya lebih hebat, lebih pintar, bahkan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan guru-gurunya. Mereka menganggap bahwa pengetahuan yang mereka miliki sudah cukup untuk mengesampingkan adab dan penghormatan terhadap guru. Namun, tanpa disadari, mereka sedang menghadapi ancaman besar: kehilangan inti dari pendidikan itu sendiri.

Belajar bukan hanya tentang menumpuk pengetahuan, melainkan juga tentang memuliakan ilmu dan menghormati orang yang mengajarkannya, yaitu guru. Sayangnya, adab ini mulai memudar di kalangan sebagian pelajar. Banyak yang melupakan bahwa kesuksesan sejati tidak diukur dari banyaknya materi yang dikuasai, tetapi dari keberkahan ilmu yang diperoleh—dan keberkahan itu berakar pada penghormatan kepada guru.

Jika kita bandingkan dengan generasi pelajar terdahulu, mereka senantiasa menghormati guru dengan penuh tulus dan rendah hati. Mereka memahami bahwa guru adalah lentera yang menerangi jalan mereka menuju ilmu. Sayangnya, hari ini kita melihat fenomena yang menyedihkan: ada murid yang berani mencari-cari kesalahan guru, bahkan sampai memfitnahnya. Padahal, menghormati guru adalah jalan untuk meraih keberkahan ilmu dan kesuksesan dunia serta akhirat.

Penghormatan kepada Guru: Teladan Para Ulama

Lihatlah bagaimana Imam Syafi’i berdoa agar aib gurunya tertutupi dan keberkahan ilmu tetap terjaga:

اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّي وَلَا تُذْهِبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّي

Doa ini menunjukkan betapa besar penghormatan beliau terhadap guru, sekaligus menyadarkan kita akan pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang yang membimbing kita dalam menuntut ilmu.

Imam Burhanuddin az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim menegaskan bahwa ilmu tidak akan diperoleh tanpa penghormatan kepada ilmu itu sendiri, kepada guru, dan kepada orang-orang yang berilmu. Ia juga mengingatkan bahwa ilmu yang tidak diiringi adab hanya akan menjadi informasi kosong yang tidak membawa manfaat, bahkan dapat membawa petaka berupa kesombongan dan kehancuran.

Sebuah kisah yang menggugah hati datang dari seorang ulama besar di Bukhara. Beliau selalu berdiri dengan penuh hormat setiap kali melihat anak gurunya mendekati pintu masjid, meskipun anak itu hanya bermain-main. Sikap ini menunjukkan penghormatan yang mendalam, tidak hanya kepada sang guru tetapi juga kepada keluarganya.

Demikian pula Sayyidina Ali, yang dengan rendah hati berkata:

أنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِي حَرْفًا إنْ شَاءَ بَاعَ وَإِنْ شَاءَ اسْتَرَقَّ

Artinya, “Aku adalah budak bagi orang yang mengajarkan aku satu huruf. Jika ia mau, ia boleh menjualku, dan jika ia mau, ia boleh menjadikanku tawanan.”

Ungkapan ini menegaskan betapa agungnya posisi seorang guru, meskipun hanya mengajarkan satu huruf.

Renungan untuk Kita Semua

Di tengah godaan zaman yang sering membuat manusia membanggakan dirinya karena jabatan atau status, marilah kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita benar-benar memuliakan guru-guru kita? Sudahkah kita menjaga adab kepada mereka, baik dalam ucapan, sikap, maupun tindakan?

Guru adalah orang yang mengubah hidup kita, yang membawa kita dari kegelapan menuju cahaya ilmu. Jangan sampai kita terjebak dalam kesombongan yang justru menjerumuskan kita ke dalam kebodohan. Ingatlah, keberkahan ilmu tidak hanya terletak pada seberapa banyak yang kita pelajari, tetapi juga pada sejauh mana kita menghormati guru yang mengajarkan ilmu tersebut.

Semoga Allah selalu membimbing kita untuk memuliakan ilmu, menghormati guru, dan meneladani jejak para ulama yang telah menunjukkan bahwa penghormatan kepada guru adalah kunci kesuksesan sejati. Wallahu A’lam…