وَكَيْفَ نَظُنُّ بِالْأَبْنَاءِ خَيْراً # إِذَا نَشَأُوْا بِحِضْنِ الْجَاهِلَاتِ

“Bagaimana mungkin kita memiliki prasangka positif pada putra-putri kita, jika mereka tumbuh besar dalam asuhan wanita-wanita bodoh!”

Al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri (w. 1422 H) menulis satu topik yang sangat bagus tentang peran penting kaum perempuan sebagai pendidik putra-putri bangsa, serta merosotnya cita-cita mulia generasi Muslim dewasa ini, dari perspektif dunia Barat (Eropa) maupun dunia Islam sekaligus. Termuat dalam komentar beliau pada kitab Syarh al-Yaqût an-Nafîs fî Madzhabi Ibni Idrîs,fokus klasifikasinya: bab Hadhânah.Termasuk juga kutipan syair pembuka di atas.

Bagaimana keberhasilan kaum perempuan dan kaum ibu di Hadramaut (Yaman) mendidik generasi penerus mereka, sehingga dari tangan lembut mereka lahir banyak dai dan ulama hebat yang berkualitas sepanjang masa. Paling tidak, jika diformulasikan menjadi satu kesimpulan komprehensif, ada tiga misi urgen yang menjadi mindsetumum tiap ibu di Hadramaut.

Pertama,peran perempuan sebagai sosok pendidik sejati di lingkup keluarganya, dan ini adalah misi yang paling penting. Sampel sederhananya, peran seorang syarifah mulia di balik keberhasilan dua ulama besar ini: al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir (w. 1272 H) penulis kitab Sullamut-Taufîqyang terkenal itu, dan kakaknya al-Habib Thahir bin Husain bin Thahir (w. 1241 H). Tak lain berkat didikan lembut Syarifah Ummu Kultsum binti Thahir, yang merupakan bibi kedua ulama tadi. Sosok wanita ‘alimah, shalihah, tegas, dan berwibawa.

Sejak masih kecil, al-Habib Abdullah dan al-Habib Thahir telah dibimbing Syarifah Ummu Kultsum dengan cinta dan kasih sayang, mem-filterpergaulan sosial yang tidak berguna, bahkan ada larangan mengunjungi pasar. Menunjuk beberapa orang untuk mengawasi pendidikan keduanya, menanamkan cinta para ulama dan shalihin, mengarahkan untuk lewat di jalan-jalan tertentu saat berangkat sekolah, agar terhindar dari pandangan negatif (maksiat) atau bertemu orang yang dapat merusak hati dan etika mereka (yang bisa jadi menurut anggapan kita “biasa saja”).

Kedua,peran perempuan sebagai figur penting di keluarganya, dan ini merupakan faktor unik yang mulai ditinggalkan oleh kaum ibu peniti karir di perkotaan saat ini. Sampel mudahnya, figur mulia ibunda yang melahirkan tokoh ulama kaliber dunia, yakni al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dan kakaknya al-Habib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz (w. 1441 H), Grand Mufti Tarim. Beliau ialah al-Hubabah Zahra binti Abdullah bin Muhammad al-Haddar (w. 1436 H).

Al-Habib Umar sering menangis tersedu-sedu saat menceritakan kehidupan sederhana ibundanya. Di hari kewafatannya, al-Habib Umar berkata: “Betapa sering kami saksikan beliau sujud dan ruku di tengah malam, disertai tangisan yang membuat iba. Sehingga kadang kala salah satu dari keluarga ada yang datang menemui beliau, karena khawatir terjadi sesuatu. ‘Ada apa? Apa yang terjadi di rumah?’ Setelah di datangi, ternyata Hubabah Zahra sedang bersujud di hadapan tuhannya. Dalam khulwah-nya ia besimpuh bermunajah kepada Allah, sedangkan orang lain terlelap dalam tidurnya.”

Sejak sepeninggal suaminya, al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz yang ditangkap kelompok kiri Komunis, Hubabah Zahra merawat sendiri delapan putra-putrinya dengan kesabaran tinggi, tanpa pernah mengeluh kecuali hanya kepada Allah. Otomatis aktifiitas harian yang sering ditemui oleh al-Habib Umar muda dari figur ibundanya hanyalah ibadah dan ibadah. Seakan-akan segala hal dalam hidup beliau selalu berkaitan erat dengan penghambaan kepada Allah.

Ketika ditanya apakah rahasia sukses beliau mendidik putra-putri hingga menjadi seperti saat ini, dengan kerendahan hatinya (tawadhu) beliau hanya menjawab: “Semua itu tak lain adalah kehendak Allah.” Al-Hubabah Zahra hanya berpesan kepada setiap ibu yang sedang hamil, agar menjaga dari makanan syubhat dan selalu berbaik sangka (husnudz-dzan) kepada siapapun.

Ketiga,peran perempuan sebagai pengelola rumah tangga, sehingga tercipta harmonisasi yang ideal dalam keluarga. Istri yang pandai mengatur rumah tangganya, dialah wanita idaman setiap kaum pria. Sampelnya, dari seorang syarifah yang merelakan dirinya ditinggal suami keluar negeri demi menebarkan dakwah Islam. Dialah Syarifah Alawiyah binti Abdullah bin Sahl (w. 1329 H), tokoh penggagas dibalik berdirinya “Mushalla Bilfaqih”, tempat ibadah khusus wanita terbesar di Kota Tarim yang masih populer hingga saat ini.

Ketika kali pertama ditinggal dakwah ke Indonesia oleh suaminya, al-Habib Muhammad bin Abu Bakar Bilfaqih, Syarifah Alawiyah membuat semacam bisnis konveksi rumahan yang dijalankan sendiri, hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang-pangan sehari-hari keluarga. Adapun uang kiriman dari suami, ia tabung sebagai simpanan jangka panjang. Ketika sang suami pulang dan hendak mencari nafkah buat keluarga, istrinya mencegah sebab uang yang dulu dikirimkan masih utuh dan cukup untuk kebutuhan nafkah hingga beberapa tahun berikutnya.

Untuk ukuran keluarga yang hidup di perkotaan, istri yang pintar mengatur keuangan suami merupakan aset yang sangat berharga dan memiliki peranan penting sebagai sampel sebuah keluarga sukses. Istri yang mampu mengatur uang keluarga, berarti ia menghargai jerih payah dan tetesan keringat suaminya yang mencari nafkah. Harta yang dikelola dengan sepenuh hati karena Allah, pastinya akan lebih bermanfaat, selain juga terdapat nilai keberakahan di dalamnya.

Sebagai penutup tulisan ini, terdapat pesan moral dari al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri yang sangat penting dan sayang sekali jika dilewatkan. Ia menulis begini dalam Syarh al-Yaqût an-Nafîs:

وَحَيْثُ إِنَّ وَظِيْفَةَ الْأُمِّ مُهِمَّةٌ فِيْ تَرْبِيَّةِ الطِّفْلِ، فَيَجِبُ أَنْ تَكُوْنَ فِيْهَا كَفَاءَةٌ لِهَذِهِ التَّرْبِيَّةِ. وَالْإِسْلَامُ يَأْمُرُ الْمَرْأَةَ بِالتَّعْلِيْمِ، وَالْمَرْأَةُ هِيَ الْمَدْرَسَةُ الْأُوْلَى لِلطِّفْلِ.

“Dan sekiranya tugas paling penting dari seorang ibu ialah mendidik anaknya yang usia dini, maka sudah selayaknya tiap ibu menempatkan dirinya dalam posisi tersebut, yakni sebagai pendidik. Islam menganjurkan penganutnya dari kaum perempuan agar menjadi pendidik, sebab mereka adalah institusi pendidikan pertama bagi putra-putri mereka.” []