Freya Madeline Stark, seorang sarjana atau orientalis wanita yang berkebangsaan Inggris, pernah menyatakan kekagumannya pada seorang wanita salehah, saat kunjungannya ke Seiwun (Hadramaut) pada tahun 1934 M. Dalam buku al-Bawwâbah al-Janûbiyah li Jazîratil-Arab: Rihlah Ilâ Hadramaut(versi asli berjudul: The Southern Gates of Arabia: A Journey in The Hadhramaut), dengan panjang lebar ia menulis sosok wanita yang di kaguminya itu:

فَتَحَتْ ذِرَاعَاهَا لِمُسْتَمِعَةٍ مَسِيْحِيَّةٍ، وَهِيَ مُفْعَمَةٌ بِوُدٍّ حَقِيْقِيٍّ، وَأَتَتْ لِرُؤْيَتِيْ عِنْدَ مَا عُدْتُ عِبْرَ سِيْئُوْن. كَانَ زَوْجُهَا قَدْ تُوُفِّيَ، وَكَانَ لَدَيْهَا الْعَدِيْدُ مِنَ الْأَطْفَالِ، وَقَدْ سَكَنْتُ فِيْ مَنْزِلِهَا الْخَاصِّ. وَأَعْتَقِدُ بِأَنَّهَا كَانَتْ وَاحِدَةً مِنْ أَسْعَدِ النِّسَاءِ فِيْ حَضْرَمَوْتَ، لِأَنَّهَا فَعَلَتْ مَا أَحَبَّتْ أَنْ تَفْعَلَهُ، وَكَانَتْ فَاضِلَةً وَذَاتَ شَأْنٍ أَيْضًا، وَأَخْبَرَنِي النَّاسُ بِأَنَّهَا كَانَتْ كَذَلِكَ طَوَالَ الْوَقْتِ.

“Ia mau membuka kedua lengannya (sebagai sambutan hangat) untuk si pendengar Kristiani ini. (Aku lihat) ia seperti di penuhi perasaan cinta yang tulus. Ia mendatangiku saat aku melakukan lawatan ke Seiwun. Suaminya telah wafat, dan ia memiliki beberapa anak. Aku berkesempatan menempati ruangan khusus miliknya. Aku yakin ia wanita paling bahagia di Hadramaut, karena ia bebas melakukan apapun yang di inginkannya. Ia tokoh berwibawa dan berpengaruh kuat (di masyarakat). Orang-orang memberi tahuku, jika ia terbiasa beribadah sepanjang waktu.” (hal: 227)

Namun, yang lebih mengesankan dari keakuratan data yang di tulis oleh Freya Stark serta kepakarannya di bidang Antropologi, ialah sosok wanita yang ia tulis dalam bukunya tadi. Beliau ialah al-Hubabah Khadijah binti Ali bin Muhammad al-Habsyi (w. 1359 H), putri dari pengarang Maulid Simthud-Durar yang populer itu, yakni al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (w. 1333 H).

Hubabah Khadijah merupakan tokoh hebat, yang berhasil menyadarkan banyak orang tentang makna “cinta” yang sesungguhnya. Bahwa cinta suci ialah cinta yang tidak pernah dilandasi nafsu birahi, namun ia muncul karena anugerah ilahi. Cinta merupakan bagian dari ujian hidup, yang tidak bisa merasakan nikmatnya kecuali pecinta sejati saja. Dalam pandangan beliau:

مَاحَدْ دَرَا مَا بِحَالِيْ # بِيْ شَوْقٌ مَاحَدْ رَثَالِيْ

 يَاهْلَ الْقُلُوْبِ الصَّفِيَّةْ

مَن حَبَّ صَاحِبُهُ يَتْعَبْ # لَاحَدْ يَلُوْمُ مَنْ حَبّ

 فَإِنَّ الْمَحَبَّةَ بَلِيَّةْ

“Tidak ada yang tahu keadaanku, bahwa aku memiliki kerinduan dan tidak ada yang menghiburku, duhai mereka yang berhati jernih. Orang yang memiliki perasaan cinta, ia pasti merasakan kelelahan. Tidak seharusnya ada yang mencela para pecinta, karena cinta merupakan cobaan hidup (di dunia).”

Beberapa peneliti sastra Arab modern bahkan menempatkan Hubabah Khadijah dalam jajaran sastrawan besar Abad ke-20. Pencapaian prestisius itu tentu tidak lepas dari pengaruh positif didikan sang ayah, yang merupakan sastrawan sekaligus ulama besar di masanya.

Tak jauh beda dari karakter putrinya, al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi mampu menyadarkan banyak orang akan makna cinta yang tulus dari hati kepada baginda Nabi Muhammad, lewat masterpiece-nya: Maulid Simthud-Durar. Dalam satu tulisannya dinyatakan:

كَمُلَتْ مَحَاسِنُهُ فَلَوْ أَهْدَى السَّنَا # لِلْبَدْرِ عِنْدَ تَمَامِهِ لَمْ يُخْسَفِ

وَعَلَى تَفَنُّنِ وَاصِفِيْهِ بِوَصْفِهِ # يَفْنَى الزَّمَانُ وَفِيْهِ مَا لَمْ يُوْصَفِ

“Sungguh sempurna sifat-sifat luhur Rasulullah. Andai beliau mau memberikan cahayanya kepada bulan purnama, maka beliau takkan (kalah) tertutupi oleh gerhana. Betapapun sifat-sifat luhur Rasulullah telah diungkap sedemikian rupa oleh banyak orang, namun sampai akhir zaman pun tetap saja mereka takkan mampu mengungkap seluruh kesempurnaannya.”

Dari sang ayah, Hubabah Khadijah muda banyak belajar cara bersikap, menghargai dan mencintai semua orang, tanpa memandang latar belakang ras, etnis, atau agamanya. Kisah pertemuannya dengan Freya Madeline Stark yang notabene beragama Kristen tadi, sudah lebih dari cukup sebagai bukti keterbukaan Hubabah kepada siapapun.

Hubabah Khadijah merupakan tokoh Sufiyah besar, yang menjadi magnet terapis Sufisme dan menyedot perhatian banyak kaum Hawa, tidak hanya di sekitar Seiwun, tetapi juga masyarakat Hadramaut secara luas. Jika tokoh Sufiyah besar seperti Rabi’ah al-Adawiyah (w. 135 H) dalam banyak kalam syairnya mengajarkan totalitas cinta seorang hamba kepada Allah, maka kalam Hubabah Khadijah memiliki pemahaman yang lebih luas.

Bagi Hubabah, cinta yang suci tidak boleh berhenti atau stagnan hanya sebagai hubungan pribadi antara hamba dan tuhannya saja. Tidak! Akan tetapi cinta sejati itu harusnya diberikan kepada orang lain, sehingga semua orang bisa merasakan nikmatnya cinta ilahi tersebut.

Perasaan cinta tidak seharusnya di tutup-tutupi, karena akan mempermalukan pemiliknya—misalnya. Justru cinta sejati itu mampu memotivasi si pemilik hati untuk melahirkan untaian mutiara hikmah dari lisannya. Cinta sejati berarti cinta pada keindahan yang abadi. Hubabah Khadijah menuliskan:

مَنْ بُلِيَ بِالْمَحَبَّةِ لَا يُحَاذِرْ # بَا يَخْرُجُ مِنْ أَقْوَالِهِ جَوَاهِرْ

بَا يُغَنِّيْ بِهَا وَأَنْتُمْ تَسْمَعُوْنْ

وَالْمَحَبَّةُ لَهَا عِنْدِيْ قَوَاعِدُ # غَيْرَ مَاحَدْ مَعِيْ مُسَاعِدُ

مَنْ قَدَا لِيْ بِهِمْ خَاطِرِيْ مَحْنُوْنْ

“Orang yang di uji dengan cinta, ia tidak perlu khawatir. Sebab dari lisannya akan keluar mutiara-mutiara yang indah. Ia akan mendendangkannya, sedang kalian jadi pendengarnya. Bagiku, cinta memiliki kaidah-kaidah tertentu. Hanya saja aku tidak mengetahui siapakah yang bisa membantuku, yang bisa mengurai perasaanku dan memahami gejolak hatiku.”

Dan bisa jadi, Hubabah Khadijah adalah satu-satunya sastrawan wanita paling berpengaruh yang pernah dimiliki Hadramaut. Beliau wafat pada 06 Rabi’ul Tsani 1359 H, dalam usia 68 tahun. Kepergiannya diiringi kesedihan yang mendalam dari para pecinta atau muhibbîn-nya, bahkan mengalahkan kesedihan atas wafatnya tokoh besar dari kaum Adam! []