
Dalam tradisi Islam, proses menuntut ilmu tidak hanya berkaitan dengan kecerdasan intelektual semata, melainkan juga menyangkut kesiapan spiritual dan akhlak yang luhur. Salah satu pilar utama dalam perjalanan menuntut ilmu adalah adab seorang murid terhadap gurunya. Adab ini bukan sekadar pelengkap, tetapi merupakan fondasi penting yang menentukan keberhasilan seorang murid dalam pencariannya akan ilmu.
Adab: Landasan Utama dalam Perjalanan Ilmu
Adab terhadap guru mencakup seluruh aspek sikap, ucapan, dan perilaku murid — baik saat berada di hadapan guru maupun ketika tidak bersamanya. Para ulama salaf (generasi awal) maupun khalaf (generasi setelahnya) memberikan perhatian besar terhadap hal ini. Sejarah keilmuan Islam mencatat banyak kisah inspiratif tentang betapa agungnya penghormatan mereka terhadap para guru.
Salah satu kisah yang menggambarkan hal ini adalah tentang dua saudara kembar, Ali bin Shalih dan Hasan bin Shalih. Meskipun lahir dari rahim yang sama, Hasan memperlakukan saudaranya Ali dengan penuh takzim hanya karena Ali lahir satu jam lebih dahulu darinya. Hasan bahkan tidak pernah menyebut nama saudaranya secara langsung, dan selalu duduk di tempat yang lebih rendah saat bersama Ali. Ini menunjukkan betapa dalamnya nilai adab yang tertanam dalam diri para penuntut ilmu dahulu.
Bahaya Menuntut Ilmu Tanpa Adab
Adab yang benar menjadi pagar yang menjaga kemuliaan ilmu. Menuntut ilmu tanpa adab ibarat membangun rumah tanpa fondasi. Sangat berbahaya apabila seorang murid tidak memahami batas-batas etika dalam proses belajar. Ilmu adalah sesuatu yang suci dan tidak akan menetap di hati yang sombong atau kasar. Karena itu, majelis ilmu di masa para ulama terdahulu tidak hanya menjadi tempat bertukar pengetahuan, tetapi juga arena untuk menanamkan dan melatih adab.
Salah satu bentuk adab yang penting adalah cara memanggil guru. Tidak layak bagi seorang murid menyebut nama guru secara langsung atau berbicara kepadanya dengan cara yang sembarangan. Ucapan seperti “Wahai guru” atau “Wahai Syekh” pun harus diiringi dengan sikap penuh hormat. Termasuk dalam hal bertanya, mengoreksi, atau bahkan sekedar duduk di dekat guru, semuanya memiliki etika tersendiri yang harus dijaga.
Adab Bertanya: Gerbang Menuju Ilmu
Salah satu bentuk adab paling penting dalam menuntut ilmu adalah cara bertanya kepada guru. Pertanyaan yang disampaikan dengan sopan, rendah hati, dan penuh penghargaan akan membuka pintu ilmu yang lebih luas. Sebaliknya, sikap keras kepala, suka membantah, atau ingin menang sendiri justru bisa menjadi penghalang datangnya ilmu.
Imam al-Sya’bi menceritakan kisah tentang Abu Salamah, seorang murid yang sering berdebat dengan sahabat besar, Ibnu Abbas. Akibat sikapnya yang kurang santun, Abu Salamah kehilangan banyak ilmu. Ia sendiri kemudian menyesali hal tersebut dengan berkata:
“Seandainya aku bersikap lembut kepada Ibnu Abbas, niscaya aku akan memperoleh banyak ilmu darinya.”
(رواه الآجري في «أخلاق حملة القرآن» (٦٥)، والدارمي (٤١٢، ٥٦٨))
Kisah ini menjadi pelajaran penting bahwa ilmu tidak cukup hanya dicari dengan lisan dan akal, tetapi juga dengan hati yang penuh adab.
Penutup: Adab Adalah Jalan Menuju Keberkahan Ilmu
Menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang tidak selalu mudah. Namun, dengan adab yang benar, seorang murid dapat membuka jalan menuju keberkahan, kemudahan, dan kedalaman ilmu yang sejati. Para ulama terdahulu telah mencontohkan bahwa adab terhadap guru bukan sekadar tradisi, melainkan cermin kesungguhan dan kemuliaan seorang murid dalam meniti jalan ilmu.
Tanpa adab, ilmu yang dicari bisa lenyap begitu saja. Namun dengan adab, pintu-pintu ilmu akan terbuka, dan cahaya keberkahan akan menyinari perjalanan seorang murid hingga akhir hayatnya.
Referensi:
- Kitab Ma‘ālim Irsyādiyyah li Ṣinā‘at Ṭalab al-‘Ilm
- Durūs al-Shaykh Usāmah Sulaymān
- Mawsū‘ah al-Akhlāq
- Akhlaq Ḥamalat al-Qur’ān, oleh Imam al-Ājurī
- Sunan al-Dārimī